KORANINVESTIGASI|Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan jadwal Pemilu nasional dan daerah ternyata menuai kritik dari DPR.
Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menilai keputusan MK terbaru, yaitu Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, justru menimbulkan kebingungan karena dianggap bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya.
Putusan MK Dinilai Bertentangan dengan yang Lama
Khozin menyebut, MK sebelumnya pernah memberi enam opsi model keserentakan pemilu dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Nah, menurutnya, putusan terbaru malah membatasi pilihan itu.
“MK sudah kasih enam opsi keserentakan. Tapi di putusan baru ini justru dibatasi. Ini jadi paradoks,” kata Khozin, Jumat (27/6).
Ia menegaskan, seharusnya MK tetap konsisten dengan putusan lama yang menyatakan bahwa menentukan model keserentakan bukan wewenang MK, melainkan tugas pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden).
Dampak Konstitusional dan Teknis
Politisi PKB itu juga menyoroti dampak besar dari putusan MK ini. Bukan cuma soal konstitusionalitas lembaga pembentuk UU, tapi juga menyentuh aspek teknis pelaksanaan pemilu yang akan jauh lebih kompleks.
Meski begitu, Khozin memastikan bahwa DPR akan menjadikan putusan MK ini sebagai bahan penting dalam menyusun revisi Undang-Undang Pemilu yang akan segera dibahas.
“Putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional. Jadi, kami di DPR akan lakukan itu,” jelasnya.
Apa Isi Putusan MK yang Dipersoalkan?
Dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa Pemilu nasional dan Pemilu daerah dipisahkan. Jeda waktunya minimal dua tahun, maksimal dua tahun enam bulan.
Pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden, DPR, dan DPD, sedangkan pemilu daerah meliputi DPRD provinsi/kabupaten/kota dan kepala daerah.
Putusan ini adalah bagian dari rangkaian perubahan besar dalam sistem pemilu Indonesia. Sebelumnya, MK juga mengubah beberapa aturan terkait ambang batas pencalonan di Pilpres dan Pilkada:
Putusan No. 60/PUU-XXII/2024: Ambang batas pencalonan kepala daerah turun menjadi 7,5% suara sah di provinsi.
MK juga menghapus ambang batas 20% untuk pencalonan presiden. Namun, MK meminta adanya rekayasa konstitusional agar jumlah capres tidak jadi terlalu banyak.
MK dan DPR Masih Akan Bertarung di Ranah UU?
Ke depan, bola panas ada di tangan DPR dan Presiden. Mereka yang akan menentukan arah baru sistem kepemiluan Indonesia lewat revisi UU.
Satu hal yang pasti, putusan MK kali ini membuka perdebatan baru: mana yang lebih baik—keserentakan atau pemisahan pemilu?***