Daerah

Harimau Sumatera Mangsa Sapi Warga di Pelalawan Riau: Konflik Satwa Liar yang Terus Terulang

×

Harimau Sumatera Mangsa Sapi Warga di Pelalawan Riau: Konflik Satwa Liar yang Terus Terulang

Sebarkan artikel ini
4d349e65 251c 4074 8ccc b7c6e3c04c15
Infografis. Peristiwa di Pelalawan memperlihatkan satu hal penting: harimau tidak menyerang karena buas, tapi karena habitatnya terganggu. Foto: Generate by AI

KORANINVESTGASI|Seekor harimau sumatera jantan dilaporkan menyerang dan memangsa sapi milik warga di Desa Pulau Muda, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, pada Senin, 30 Juni 2025.

Serangan ini kembali mengingatkan kita pada konflik panjang antara manusia dan satwa liar, terutama harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), yang habitatnya terus terdesak.

BACA JUGA: Anak Harimau Sumatra Mati di TMSBK Bukittinggi: Dugaan Malnutrisi, Kelalaian, atau Kelainan Genetik?

Terekam Kamera Trap: Harimau Bernama ‘Sampale’

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau melalui kepala balainya, Supartono, membenarkan bahwa peristiwa ini ditindaklanjuti secara langsung. Mereka memasang perangkap kotak dan kamera trap di lokasi kejadian.

“Dari hasil kamera trap, terekam harimau sumatera jantan dewasa. Namun satwa belum masuk ke dalam perangkap, kemungkinan karena ukuran kotak terlalu kecil,” jelas Supartono.

Harimau ini bukan individu baru. BBKSDA telah mengidentifikasinya dengan nama Sampale, dan sebelumnya pernah terekam berkeliaran di wilayah Kerumutan, yang dikenal sebagai habitat alami harimau sumatera.

Mengapa Harimau Menyerang Sapi Warga?

download 23
Ilustrasi. Harimau Sumatra Dewasa

BACA JUGA: Heboh! Diduga Anak Harimau Sumatera Terjerat di Ladang Jagung Talamau, Pasaman Barat Sumbar

Menurut Supartono, lokasi kejadian berada di dalam wilayah jelajah harimau sumatera. Ketika satwa menemukan ternak seperti sapi di dalam wilayah pergerakannya, naluri alaminya akan menjadikannya sebagai mangsa.

“Satwa ini tidak keluar dari habitat, tapi justru sapi yang ada di dalam jalurnya. Jadi secara naluri, wajar kalau harimau memangsa,” tegasnya.

Ini memperlihatkan bahwa batas antara wilayah manusia dan satwa makin kabur, sehingga potensi konflik makin besar jika tidak ditangani dengan pendekatan konservasi yang tepat.

BBKSDA: Dugaan Dua Harimau Terlibat dalam Konflik Terpisah

Menariknya, menurut BBKSDA, konflik harimau yang terjadi belakangan ini di wilayah Riau diduga melibatkan dua individu berbeda.

Ini menunjukkan bahwa konflik satwa liar bukan kejadian satu kali atau ulah satu individu, tapi merupakan fenomena yang kompleks karena:

  1. Fragmentasi habitat
  2. Perambahan kawasan hutan
  3. Ketidaksiapan masyarakat menghadapi satwa liar

Imbauan BBKSDA: Jangan Panik, Tapi Tetap Waspada

Supartono mengimbau warga untuk:

  1. Tidak panik berlebihan
  2. Beraktivitas dalam kelompok, bukan sendirian
  3. Tidak keluar rumah di waktu aktif harimau (sore hingga malam)
  4. Mengandangi hewan ternak agar tidak berkeliaran di malam hari

Langkah ini adalah bentuk mitigasi berbasis masyarakat—langkah sederhana tapi efektif untuk mencegah jatuhnya korban jiwa atau kerugian ekonomi lebih besar.

Konflik Harimau-Manusia di Riau: Gejala Akhir dari Krisis Ekologis

Konflik manusia dan harimau bukan cerita baru di Riau. Wilayah seperti Kerumutan, Tesso Nilo, dan sebagian Pelalawan telah menjadi zona merah konflik satwa liar akibat:

  1. Deforestasi untuk sawit dan HTI
  2. Fragmentasi hutan menjadi patch kecil tak terhubung
  3. Perburuan satwa mangsa (rusa, babi, kijang)

Saat rantai makanan alami terganggu, dan ruang jelajah menyempit, harimau akan mendekati permukiman, bukan karena ingin, tapi karena terpaksa bertahan hidup.

Harimau Bukan Penjahat, Tapi Korban

Peristiwa di Pelalawan memperlihatkan satu hal penting: harimau tidak menyerang karena buas, tapi karena habitatnya terganggu.

Harus ada upaya lebih serius untuk:

  1. Melindungi kawasan jelajah harimau
  2. Membuat koridor satwa liar antar habitat
  3. Melibatkan masyarakat dalam konservasi partisipatif

Konflik ini bukan sekadar cerita horor di kampung, tapi cermin bahwa krisis lingkungan sudah mengetuk pintu kita.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *