KORANINVESTIGASI|Seekor anak harimau sumatra jantan kembali mati di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi, Sumbar, pada 1 Juli 2025.
Kematian ini menjadi pukulan telak bagi program konservasi satwa langka, apalagi penyebabnya disebut akibat malnutrisi dan dehidrasi.
Namun, di balik kematian tragis ini, tersingkap fakta yang lebih dalam: dugaan kelainan genetik dari indukan yang sama, Yani dan Bujang Mandeh, yang disebut telah melahirkan lima generasi anak harimau bermasalah.
BACA JUGA: Tragedi di TMSBK Bukittinggi: Anak Harimau Sumatra Mati karena Malnutrisi, Kelalaian?
Kronologi Singkat: Dari Lahir Hingga Mati dalam 7 Hari
Anak harimau malang itu lahir pada 24 Juni 2025 pukul 03.00 WIB. Sejak awal, ia ditempatkan satu kandang bersama induknya, Yani.
Namun, pemantauan lewat CCTV menunjukkan bahwa sang induk mengalami stres berat dan tidak menyusui anaknya.
“Induknya stres, anaknya sering dipindah dengan cara digigit. Induk sudah tidak menyusui sejak hari keempat,” ungkap Hartono, Kepala BKSDA Sumbar.
Pada 30 Juni, tim medis akhirnya memutuskan untuk mengevakuasi anak harimau dari kandang. Mereka mulai memberikan susu kambing sebagai pengganti ASI. Tapi semuanya sudah terlambat.
Keesokan harinya, 1 Juli pukul 09.00 WIB, anak harimau dinyatakan mati.
Masalah Genetik? Ini Bukan Kematian Pertama
Menurut Hartono, kasus ini bukan yang pertama. Dari lima generasi sebelumnya yang juga lahir dari pasangan Bujang Mandeh dan Yani, sebagian besar anak harimau diduga mengalami kelainan genetik.
“Dari generasi satu sampai kelima, kebanyakan anak harimau diduga mengalami kelainan genetik. Ini masih kami dalami dengan tim medis,” jelas Hartono.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Mengapa pasangan indukan yang sama terus digunakan untuk breeding, meski riwayatnya buruk? Apakah manajemen TMSBK mengabaikan aspek genetika dalam konservasi?
Breeding Harimau Sumatra: Sukses atau Salah Kelola?

TMSBK Bukittinggi dikenal sebagai salah satu lokasi konservasi harimau sumatra paling aktif di Sumbar.
Hingga saat ini, mereka mengklaim telah berhasil mengembangbiakkan 11 harimau.
“Melihat perkembangan breeding harimau di TMSBK, ini luar biasa. Dalam lima bulan, induk bisa beranak lagi,” kata Hartono.
Namun, jika sebagian besar hasil breeding berujung pada kematian atau kelainan genetik, apakah itu bisa disebut keberhasilan?
Indikasi Kelalaian? Apa Kata Hukum
Kematian anak harimau yang tergolong satwa dilindungi kritis (critically endangered) bisa menjadi indikasi kelalaian pengelolaan.
Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya:
Kelalaian yang menyebabkan kematian satwa dilindungi dapat dikenakan pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Selain pidana, bisa juga dijatuhkan sanksi administratif seperti evaluasi izin, pembekuan operasional, hingga perombakan manajemen kebun binatang.
Pelajaran Pahit: Konservasi Bukan Sekadar Melahirkan
Kasus ini mengajarkan bahwa konservasi bukan hanya soal melahirkan lebih banyak, tapi merawat dengan benar, secara ilmiah dan etis. Aspek penting yang perlu diperhatikan:
- Manajemen genetik: Mencegah inbreeding dan mutasi yang melemahkan spesies
- Kesejahteraan hewan: Pemantauan stres, nutrisi, dan kesehatan psikis induk
- Intervensi cepat: Prosedur evakuasi bayi satwa saat induk gagal menyusui
Tanpa itu semua, harimau-harimau yang lahir bisa saja hanya “numpang lahir lalu mati”.
Saatnya Tinjau Ulang Sistem Konservasi di TMSBK
Banyak pihak menilai, kematian anak harimau sumatra ini harus jadi momen refleksi, bukan sekadar insiden yang lewat begitu saja. Pemerintah, BKSDA, dan pengelola kebun binatang harus:
- Melakukan audit menyeluruh terhadap program breeding
- Menggandeng pakar genetika dan etologi satwa
- Membuat SOP tegas soal intervensi saat induk stres
- Meninjau kembali penggunaan induk dengan riwayat keturunan bermasalah
Kita sedang bicara soal spesies yang hampir punah. Tidak ada ruang untuk uji coba, apalagi kelalaian.***
Respon (1)