KORANINVESTIGASI|Ada yang terasa berbeda di Balerong Adat Nagari Lasi siang itu. Gedung serbaguna yang biasanya menjadi tempat musyawarah adat kini dipenuhi tumpukan buku, senyum hangat, dan cerita-cerita lama yang kembali hidup.
Semua bermula dari sebuah karya: “Nagari Lasi Lintas Zaman”, buku yang lahir dari tangan dan hati seorang anak nagari, Elmawati.
Bagi Elmawati, yang kini menikmati masa pensiun setelah berkarier panjang di Telkom, menulis buku ini bukan sekadar proyek pribadi. Ia menyebutnya “utang rasa kepada kampung halaman.”
“Saya ingin sejarah nagari ini tidak hilang. Proses penulisan dan penyusunan saya lakukan sendiri, karena saya percaya setiap diri kita punya nilai dan jasa. Jangan sampai kita lupa,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
BACA JUGA: Dari Sosmed Jadi Usaha: “Pisang Kembung Laris” Camilan Hits di Samping RSAM Bukittinggi
Lebih dari Sekadar Buku
Buku Nagari Lasi Lintas Zaman tak hanya menulis ulang jejak waktu. Ia memuat pusako nilai, cerita tentang bagaimana nagari berdiri, berkembang, dan bertahan dari gempuran zaman.
Wali Nagari Lasi, Adrizal, dalam sambutannya menyebut karya ini sebagai “pijakan baru” bagi nagari.
“Di zaman modern yang penuh tantangan, bahkan virus globalisasi menurut Google sangat besar, nilai nagari harus tetap dijaga. Kita butuh anak nagari yang mencetuskan ide edukatif seperti literasi, taman baca, hingga karya tulis yang bisa dikonsumsi masyarakat tanpa pamrih,” tegasnya.
Warisan untuk Generasi Mendatang

BACA JUGA: Armiü Accessories: Kios Ungu Imut di Bukittinggi Sumbar, Tempat Belanja Seru Plus Penuh Misi Sosial!
Diskusi yang berlangsung hangat itu mengalir ke banyak arah: dari pentingnya melestarikan adat dan sejarah, sampai peran perempuan Minangkabau dalam membangun nagari.
Drs. Suardi Mahmud, tokoh masyarakat sekaligus mantan Wali Nagari Lasi, mengungkapkan kalimat yang membuat banyak orang terdiam sejenak:
“Nagari itu batek sapikua, ringan dijinjing—itulah raso. Hari ini bukan pikiran yang bicara, tapi kalbu. Dengan modal sosial, nilai kita akan lestari,” ujarnya penuh makna.
Ia juga menambahkan bahwa kehadiran perempuan seperti Elmawati adalah bukti bahwa peran perempuan Minangkabau bukan hanya “mengiringi,” tapi juga “memikirkan masa depan.”
Lintas Generasi, Lintas Batas
Acara ini dihadiri oleh ninik mamak, bundo kanduang, pemuda-pemudi, perangkat nagari, dan perantau. Semua larut dalam cerita, semua merasa memiliki tanggung jawab yang sama: jangan sampai sejarah nagari terkubur oleh ingatan yang makin singkat.
Para peserta diskusi sepakat, buku ini menjadi langkah konkret melawan pelupaan sejarah lokal.
Dari Buku, Menjadi Gerakan
Acara ditutup dengan momen yang sarat simbol: penyerahan buku secara simbolis kepada pihak nagari. Tidak ada tepuk tangan meriah, hanya suasana penuh keakraban dan rasa haru.
Seolah semua yang hadir tahu, bahwa buku ini bukan sekadar lembaran kertas, melainkan pesan untuk generasi yang belum lahir.***
Respon (1)