Berita

Harga Gabah Rp6.500/kg: Petani Diuntungkan? Belum Tentu

×

Harga Gabah Rp6.500/kg: Petani Diuntungkan? Belum Tentu

Sebarkan artikel ini
download 56 1
Ilustrasi Gabah Kering. Pemerintah secara resmi menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram (kg). Foto DOK IST

KORANINVESTIGASI|Pemerintah secara resmi menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram (kg).

Sekilas, angka ini tampak menggembirakan dan memberi harapan bagi petani untuk mendapatkan keuntungan lebih layak.

Namun jika dihitung secara rinci, angka tersebut menyisakan sejumlah pertanyaan: Benarkah petani benar-benar diuntungkan?

BACA JUGA: Swasembada Pangan RI Bikin Panik Importir? Ini Kata Mentan Amran!

Biaya Produksi Tembus Rp27 Juta per Hektare

Berdasarkan data Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Jawa Barat dalam webinar yang digelar Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Senin (14/7/2025), biaya usaha tani padi saat ini sudah menyentuh angka Rp27.943.000 per hektare.

Angka ini mencakup seluruh tahapan mulai dari sewa lahan, pengolahan tanah, pembibitan, tanam, pemupukan, pengairan, hingga proses panen.

Dengan asumsi produktivitas lahan mencapai 6 ton (6.000 kg) per hektare dan harga jual sesuai HPP yakni Rp6.500/kg, maka pendapatan kotor petani hanya mencapai Rp39 juta per hektare.

Artinya, margin keuntungan bersih yang didapat petani hanya sekitar Rp11.057.000 per hektare per musim tanam atau sekitar Rp2,2 juta per bulan jika masa tanam diasumsikan lima bulan.

“Jika dihitung, biaya produksi per kg padi sekitar Rp4.657. Jadi margin keuntungannya hanya sekitar Rp1.842 per kg. Dan itu masih keuntungan kotor,” ujar Otong Wiranta, Ketua KTNA Jawa Barat.

Harga Gabah Naik, Tapi Tidak Semua Menikmati

Di luar periode panen raya, harga gabah sempat melonjak ke angka Rp7.000/kg. Namun, Otong menekankan bahwa kenaikan harga ini tidak bisa dinikmati oleh semua petani.

Mayoritas petani di sentra produksi utama seperti Karawang, Subang, dan Indramayu telah menyelesaikan panen sebelum harga naik.

Yang masih panen hanyalah sebagian kecil petani di wilayah pesisir atau daerah yang tanamnya terlambat.

Sayangnya, hasil panen di daerah ini justru lebih rendah karena kendala irigasi dan kondisi lahan.

“Yang menikmati itu hanya daerah-daerah yang telat tanam, seperti pesisir. Tapi produksinya juga tidak maksimal,” terang Otong.

Petani yang Mana yang Diuntungkan?

Masalah berikutnya adalah soal definisi. Otong mengingatkan bahwa “petani” itu kategori luas: mulai dari pemilik lahan, penyewa, hingga buruh tani. Ketiganya memiliki posisi ekonomi yang sangat berbeda.

  1. Pemilik lahan masih bisa menghitung untung dari selisih harga.
  2. Penyewa harus membagi keuntungan dengan biaya sewa yang tinggi.
  3. Buruh tani hanya menerima upah harian tanpa terpengaruh naik turunnya harga gabah.

Dengan kata lain, kenaikan harga gabah bukan jaminan keuntungan merata, terutama bagi petani kecil yang tidak memiliki lahan sendiri.

Tantangan Sistemik: Margin Tipis, Risiko Tinggi

Kondisi ini mengindikasikan bahwa struktur ekonomi pertanian padi di Indonesia masih rentan dan tidak berpihak pada petani kecil.

Meski HPP sudah dinaikkan, kenyataannya margin keuntungan petani masih sangat tipis dan rentan terkikis oleh:

  • Lonjakan harga pupuk
  • Biaya sewa lahan yang tinggi
  • Ketergantungan pada tengkulak
  • Risiko gagal panen akibat cuaca ekstrem

Ketiadaan sistem perlindungan harga, jaminan distribusi pupuk, dan efisiensi produksi membuat posisi tawar petani sangat lemah.

Rekomendasi: Perlu Kebijakan Lebih dari Sekadar Harga

Menjawab tantangan tersebut, KTNA dan para ekonom pertanian menyarankan agar kebijakan HPP disertai dengan intervensi struktural, antara lain:

  1. Subsidi input produksi: Pupuk, benih, dan alat pertanian.
  2. Perlindungan harga: Skema pembelian langsung oleh pemerintah saat panen raya untuk menjaga kestabilan harga.
  3. Penguatan koperasi tani: Agar petani bisa menjual hasil tanpa perantara.
  4. Skema pembiayaan mikro: Bagi petani penyewa atau penggarap lahan.
  5. Segmentasi kebijakan: Berdasarkan jenis petani (pemilik, penyewa, buruh tani) agar intervensi tepat sasaran.

HPP Bukan Satu-satunya Jawaban

Harga gabah Rp6.500/kg memang tampak lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun, tanpa penataan ulang pada struktur biaya produksi dan akses pasar, maka kenaikan harga hanya dinikmati oleh sebagian kecil petani.

Petani Indonesia tidak butuh belas kasih, mereka butuh sistem yang adil dan berkelanjutan. Jika dibiarkan dengan margin tipis dan risiko tinggi, bukan tidak mungkin sektor pertanian akan ditinggalkan generasi muda yang melihatnya sebagai sektor tanpa masa depan.***

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *