Berita

Tragedi di TMSBK Bukittinggi: Anak Harimau Sumatra Mati karena Malnutrisi, Kelalaian?

×

Tragedi di TMSBK Bukittinggi: Anak Harimau Sumatra Mati karena Malnutrisi, Kelalaian?

Sebarkan artikel ini
download 25 1
Ilustrasi. Seekor anak harimau sumatra jantan ditemukan mati di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi pada 1 Juli 2025. Foto DOK IST

KORANINVESTIGASI|Seekor anak harimau sumatra jantan ditemukan mati di Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi pada 1 Juli 2025.

Kematian satwa langka ini mengejutkan banyak pihak, apalagi setelah hasil nekropsi mengungkap bahwa penyebab kematiannya adalah malnutrisi dan dehidrasi.

Tapi pertanyaannya, bagaimana bisa hal ini terjadi di bawah pengawasan kebun binatang?

BACA JUGA: Heboh! Diduga Anak Harimau Sumatera Terjerat di Ladang Jagung Talamau, Pasaman Barat Sumbar

Dari Harapan Lahirnya Satwa Langka, Berujung Duka

Anak harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) itu lahir pada 24 Juni 2025 pukul 03.00 WIB, dari seekor induk bernama Yani yang berusia 8 tahun.

Kelahiran ini seharusnya menjadi kabar bahagia—mengingat status harimau sumatra yang terancam punah, dan setiap kelahiran baru sangat berharga untuk upaya konservasi.

Namun, harapan itu pupus hanya seminggu kemudian.

“Pada 1 Juli pukul 09.00 pagi, anak harimau dinyatakan mati oleh tim medis,” ujar Hartono, Kepala BKSDA Sumatera Barat, kepada wartawan, di Padang.

CCTV Ungkap Fakta Mengerikan: Induk Tak Menyusui, Anak Harimau Sumatera Digigit-Gigit

Dari penelusuran tim medis dan rekaman CCTV, diketahui bahwa induk harimau tidak menyusui anaknya selama beberapa hari setelah melahirkan.

Bahkan, pada 29 Juni, petugas melihat tanda-tanda stres berat pada induk, termasuk memindahkan anaknya dari satu sudut kandang ke sudut lain dengan cara digigit.

Petugas TMSBK saat itu terus memantau lewat layar monitor. Namun, karena induknya agresif dan tidak bisa didekati, mereka memilih untuk tidak langsung turun tangan.

Ketika akhirnya tim medis dan BKSDA memutuskan untuk mengevakuasi anak harimau pada 30 Juni dan memberinya susu kambing sebagai pengganti ASI, kondisinya sudah terlalu lemah.

Keesokan harinya, ia mati.

Bukan Pertama Kali: 5 Generasi Sebelumnya Juga Bermasalah

Yang membuat kasus ini semakin memilukan, ternyata anak harimau yang mati ini adalah generasi keenam dari induk yang sama, dan lima generasi sebelumnya juga mengalami kelainan genetik.

“Dari penelusuran kami, lima anak sebelumnya dari induk yang sama juga bermasalah. Ada kemungkinan faktor genetik dan inbreeding,” jelas Hartono.

Artinya, ini bukan sekadar insiden, tapi masalah sistemik dalam manajemen pembiakan harimau di TMSBK.

Siapa yang Bertanggung Jawab? Ada Potensi Kelalaian?

Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan: Mengapa penanganan tidak dilakukan lebih cepat? Kenapa induk yang sama terus digunakan untuk berkembang biak meski hasilnya bermasalah? Apakah ini bentuk kelalaian?

Jika terbukti ada unsur kelalaian—misalnya dalam hal pengawasan, nutrisi, atau penanganan medis—maka dapat dijerat oleh UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Pasal 40: Kelalaian yang menyebabkan kematian satwa dilindungi bisa dipidana hingga 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Secara administratif, izin pengelolaan TMSBK bisa dibekukan atau dicabut, dan pengelola wajib melakukan evaluasi menyeluruh.

Pelajaran Pahit dari Kasus TMSBK: Konservasi Bukan Sekadar Menjaga, Tapi Juga Merawat dengan Benar

Konservasi bukan hanya soal menjaga populasi, tapi juga memastikan kualitas hidup hewan-hewan yang dikembangbiakkan.

Kasus di TMSBK menunjukkan bahwa tanpa pemantauan genetik, penanganan stres induk, dan respons cepat saat ada tanda bahaya, bahkan harapan bisa berubah menjadi tragedi.

Pihak BKSDA sendiri telah menyatakan akan melakukan evaluasi mendalam terhadap SOP pengelolaan satwa di TMSBK, khususnya terkait:

Prosedur penanganan kelahiran harimau
Sistem pemantauan dan intervensi darurat
Pengelolaan genetika agar tidak terjadi inbreeding berulang

Tragedi Ini Tak Boleh Terulang

Kematian anak harimau sumatra di TMSBK Bukittinggi bukan sekadar kisah kehilangan satu ekor satwa. Ini adalah alarm keras tentang buruknya manajemen penangkaran dan pentingnya reformasi menyeluruh dalam sistem konservasi di Indonesia.

Setiap nyawa harimau sumatra sangat berharga. Jangan sampai kita terus kehilangan hanya karena kelalaian yang bisa dicegah.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *