KORANINVESTIGASI|Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia menerima penitipan uang pengganti dari dua raksasa industri kelapa sawit tanah air: Musim Mas Grup dan Permata Hijau Grup, sebagai bagian dari perkara korupsi fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) tahun 2022.
Total dana yang dititipkan? Fantastis! Mencapai Rp1,374 triliun, dan semuanya langsung disita oleh Kejagung demi kepentingan hukum di tingkat kasasi.
Siapa yang Menitipkan Uang?
Menurut Direktur Penuntutan Jampidsus Kejagung, Sutikno, terdapat 6 perusahaan dari total 12 yang terlibat, yang telah menitipkan dana pengganti kerugian negara tersebut:
- Dari Musim Mas Grup:
- PT Musim Mas → Rp1.188.461.774.666
- Dari Permata Hijau Grup:
- PT Nagamas Palm Oil Lestari
- PT Pelita Agung Agri Industri
- PT Nubika Jaya
- PT Permata Hijau Palm Oil
- PT Permata Hijau Sawit
→ Total dari 5 perusahaan ini: Rp186.430.960.865,26
Dana sebesar itu kini disimpan di rekening LPL Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Bank BRI.
Proses Hukum Berlanjut: Penyitaan dan Kasasi
Tak hanya dititipkan, uang tersebut langsung disita setelah Kejagung memperoleh izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyitaan ini berdasarkan:
Pasal 39 ayat 1 huruf A jo. Pasal 38 ayat 1 KUHAP.
Setelahnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan tambahan memori kasasi, agar uang ini bisa dikompensasikan sebagai pembayaran kerugian negara akibat korupsi yang dilakukan oleh para terdakwa korporasi.
“Uang ini kami masukkan sebagai bagian dari memori kasasi. Kami ingin hakim agung mempertimbangkan bahwa kerugian negara telah mulai dikembalikan,” jelas Sutikno.
Kilas Balik: Skandal Ekspor CPO 2022

Kasus ini mencuat pada 2022, di tengah kelangkaan minyak goreng dalam negeri. Fasilitas ekspor CPO yang seharusnya tunduk pada aturan demi menjaga stok dalam negeri, justru dimanipulasi oleh sejumlah pihak untuk mengeruk keuntungan pribadi dan korporasi.
Penitipan uang dalam jumlah besar ini menandakan bahwa Kejagung tidak berhenti di vonis pidana saja, tapi juga mengejar pemulihan kerugian negara.
Ini bisa jadi langkah positif untuk mendorong korporasi bertanggung jawab atas tindakan yang mencederai keadilan ekonomi dan kepentingan rakyat.***