Berita

Koperasi Desa Merah Putih: Harapan Baru, Tantangan Baru di Balik Dana Desa

×

Koperasi Desa Merah Putih: Harapan Baru, Tantangan Baru di Balik Dana Desa

Sebarkan artikel ini
aa7b0cb4 84bc 41ac b3ed 0281bd110c6b
Ilustrasi. Koperasi Desa Merah Putih. Foto Generate by AI

KORANINVESTIGASI|Di sebuah kantor desa di pelosok Nusantara, seorang kepala desa membolak-balik buku catatan keuangan sambil mengernyit.

Pertanyaan klasik muncul lagi: bagaimana caranya menggerakkan ekonomi desa tanpa menguras kas, tanpa menggadaikan masa depan?

Harapan baru datang dari Program Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih yang tengah disiapkan pemerintah.

Namun, seperti yang disampaikan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDTT) Yandri Susanto, ada batasan tegas: hanya 30% dari dana desa yang bisa dijadikan jaminan.

“Dana Desa yang ada itu maksimal dia menjadi jaminan 30% saja. Jadi kalau dana desa itu Rp500 juta, maka maksimal yang ditanggung oleh jaminan dana desa itu Rp150 juta,” ujar Yandri di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

BACA JUGA: Presiden Prabowo Resmikan 80 Ribu Kopdes/Kopkel Merah Putih: Bangun Ekonomi Rakyat dari Desa

Bukan Uang Cash, Bukan Bagi-Bagi Dana

Skema ini terkesan ketat. Tidak ada dana tunai mengalir ke koperasi. Setiap rupiah pinjaman akan langsung dibayarkan ke mitra usaha dalam bentuk barang.

“Misalkan mau bisnis pupuk, uang pupuk itu langsung dibayar ke Pupuk Indonesia, lalu Pupuk Indonesia yang kirim barang ke Kopdes,” kata Yandri menegaskan.

Model ini memang membuat jalan lebih aman dari penyalahgunaan, tapi sekaligus menantang. Koperasi harus benar-benar paham apa yang dibutuhkan, seberapa besar, dan kapan waktu yang tepat.

Zulhas: “Ini Bukan untuk Elit, Ini untuk Warga”

Di kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) mencoba menepis sinisme yang sering muncul: “koperasi hanya menguntungkan ketua.”

“Apa pun keadaannya, koperasi ini kadang-kadang ada yang bilang koperasi itu ketua untung duluan. Tapi intinya pemberdayaan masyarakat itu harus,” tegas Zulhas.

Ia menambahkan, plafon pinjaman maksimal untuk Kopdes Merah Putih ditetapkan Rp3 miliar — angka yang besar, tapi tidak sembarangan.

Dana itu bukan uang gratis, bukan pula dari APBN atau sumbangan masyarakat. Dana disimpan di bank Himbara, dengan mekanisme ketat.

BACA JUGA: Presiden Prabowo: Negara Rugi Rp100 Triliun per Tahun Akibat Permainan Curang Mafia Pangan di Tata Niaga Beras

Menata Skema, Mengubah Pola Pikir

Di balik angka-angka, pemerintah sedang menyiapkan pondasi: Peraturan Menteri Desa (Permendes) akan mengatur teknis, mulai dari proposal bisnis, musyawarah desa khusus, hingga persetujuan kepala desa dan BPD.

Ada juga desain model bisnis dari Kementerian BUMN dan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara.

Satgas Kopdes sedang dibentuk di provinsi hingga kabupaten/kota. Targetnya ambisius: 10 ribu Kopdes beroperasi mulai Agustus 2025.

Harapan di Balik Skema Cashless

Pemerintah ingin koperasi bertransaksi cashless, memanfaatkan aset desa seperti balai desa, pustu, bahkan gedung bekas sekolah agar biaya tetap rendah. Pelatihan? Daring.

Semua ini adalah upaya menjawab tantangan lama: bagaimana koperasi benar-benar jadi mesin ekonomi desa, bukan sekadar papan nama dan rapat rutin.

Lebih dari Sekadar Program

Bagi kepala desa yang masih menatap angka di buku catatan tadi, kebijakan ini bukan hanya soal 30%, plafon Rp3 miliar, atau satgas yang akan datang. Ini tentang percaya atau tidak percaya.

Percaya bahwa koperasi bisa dikelola dengan baik. Percaya bahwa warga desa mampu mengubah modal menjadi kesejahteraan. Percaya bahwa program ini bukan hanya janji.

Dan seperti kata Zulhas, ini bukan soal siapa yang untung duluan. Ini soal siapa yang mau bergerak duluan — demi desa.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *