AIR MAS, KUANSING – Program Dana Desa kembali menjadi sorotan. Kali ini, Desa Air Emas, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, mengalokasikan Rp124,8 juta untuk program ketahanan pangan dengan kegiatan budidaya jagung pipil di lahan seluas 1,3 hektare.
Jika dihitung kasar, biaya itu setara dengan sekitar Rp95 juta per hektare. Angka yang tentu jauh di atas standar pembiayaan budidaya jagung di lapangan. Pertanyaannya: apakah benar biaya sebesar itu diperlukan untuk sekadar menanam jagung pipil?
Dalam praktiknya, biaya produksi jagung per hektare biasanya berkisar Rp10–15 juta, termasuk pupuk, bibit, pengolahan tanah, hingga tenaga kerja. Jika menggunakan perbandingan ini, maka program di Desa Air Emas seakan-akan menghabiskan dana 6 hingga 9 kali lipat lebih besar dari biaya normal.
Publik tentu berhak curiga. Apakah anggaran sebesar itu realistis? Atau ada potensi markup yang membebani keuangan desa dan merugikan masyarakat?
Papan informasi proyek memang menyebutkan bahwa pengawasan dilakukan oleh seluruh masyarakat desa. Namun, tanpa keterbukaan detail rencana anggaran biaya (RAB) dan laporan pelaksanaan, pengawasan publik bisa jadi hanya sebatas slogan di papan proyek.
Dana Desa sejatinya untuk memberdayakan masyarakat, bukan sekadar dihabiskan dengan angka-angka fantastis yang sulit dicerna logika. Apalagi ketika hasil akhirnya belum tentu sebanding dengan besarnya anggaran yang digelontorkan.
Desa Air Emas bisa menjadi contoh transparansi, atau sebaliknya, menjadi catatan buruk pengelolaan Dana Desa. Semua kembali pada komitmen aparat desa: apakah benar-benar serius membangun ketahanan pangan, atau hanya menjadikan jagung pipil sebagai alasan untuk menguras anggaran.
Saat dikonfirmasi wartawan, Kepala Desa Air Emas, Adi Setiyo, membenarkan besaran anggaran tersebut. Ia menyebutkan, dana itu bukan sepenuhnya untuk budidaya jagung, melainkan penyertaan modal ke Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Dari anggaran itu, sekarang sudah terealisasi kurang lebih Rp40 juta,” ujar Adi Setiyo.
Namun, keterlibatan langsung Kepala Desa dalam pengelolaan BUMDes justru membuat masyarakat heran. Pasalnya, secara aturan, kepala desa semestinya hanya berperan sebagai pembina, pengawas, dan penanggung jawab kebijakan, bukan masuk dalam ranah teknis pengelolaan.
Keresahan warga semakin diperparah dengan menghilangnya Direktur BUMDes Air Emas, Agus, yang hingga kini tidak pernah terlihat lagi. “Entah di mana rimbanya,” ungkap salah seorang warga.
Kondisi ini menimbulkan dugaan adanya tumpang tindih peran dan konflik kepentingan dalam pengelolaan dana desa. Masyarakat khawatir, tanpa transparansi dan kepemimpinan BUMDes yang jelas, penyertaan modal sebesar Rp124 juta hanya akan mubazir.
Penggunaan Dana Desa untuk penyertaan modal BUMDes memang dibenarkan oleh aturan, tetapi harus melalui mekanisme yang transparan, disertai laporan pertanggungjawaban yang jelas, dan tetap menjaga kemandirian BUMDes sebagai badan usaha desa.
Kini publik menanti langkah pemerintah desa untuk menjelaskan duduk perkara, sekaligus memastikan dana ratusan juta tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi warga Air Emas.(***)