KORANINVESTIGASI|Kontes Bujang Dara Indragiri Hilir (Inhil) 2024 kini menuai sorotan tajam. Ajang bergengsi tahunan ini diduga sarat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) setelah berbagai kejanggalan mencuat ke publik.
Sejumlah sumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan dugaan penyimpangan yang meliputi penggunaan dana, mekanisme voting, hingga proses penentuan pemenang.
BACA JUGA: Lomba Bujang Dara Inhil 2025 Digelar Meriah, Tapi Masyarakat Bertanya: Apa Manfaat Nyatanya?
Dana APBD dan Sponsor Tak Transparan
Acara Bujang Dara 2024 disebut telah sepenuhnya mendapat dukungan anggaran APBD Inhil. Namun, muncul indikasi bahwa event ini justru dijadikan ajang mencari keuntungan oleh pihak event organizer (EO) yang menaungi penyelenggaraan.
Selain dana APBD, terdapat dana sponsor yang juga disebut tidak transparan pengelolaannya.
Voting Berbayar Rp5.000 Sekali Klik
Keanehan lain mencuat dari sistem voting. Salah satu orang tua peserta mengaku kecewa karena hasil voting anaknya tidak muncul di aplikasi resmi, padahal telah mengumpulkan suara.
“Aplikasi voting itu katanya berbayar Rp5.000 sekali klik, jumlahnya bukan main-main. Tapi hasil voting anak saya malah tidak dimunculkan,” ungkap salah satu wali peserta.
Pemenang Diduga “Pesanan” dan Ber-KTP Pekanbaru
Ajang yang seharusnya menjadi seleksi ikon budaya Inhil juga dipertanyakan setelah pemenang Bujang Dara 2024 diketahui ber-KTP Pekanbaru, bukan warga Inhil.
Sumber internal menyebut ada “anjuran” agar peserta menggunakan jasa pelatih tertentu yang “direkomendasikan panitia” dengan biaya latihan berbayar agar peluang masuk nominasi lebih besar.
EO Diduga Liburan ke Bali Pakai Dana Negara
Dugaan penyalahgunaan anggaran semakin mencuat setelah beredar kabar bahwa EO langsung berangkat ke Bali malam itu juga setelah pemenang diumumkan.
Perjalanan ini diduga dibiayai dari dana acara yang bersumber dari APBD.
Bidang Penyelenggara Disorot
Ajang ini berada di bawah Bidang Kebudayaan. Namun, banyak pihak mempertanyakan profesionalisme panitia dan menilai acara ini lebih condong menjadi “lahan keuntungan pribadi dan kelompok yang direkomendasikan”.
“Acara seperti ini seharusnya mempromosikan budaya dan talenta lokal, bukan jadi ajang bisnis dan sarat kepentingan,” ujar seorang pemerhati budaya lokal.
Desakan Investigasi
LSM lokal dan masyarakat mendesak agar Pemkab Inhil, DPRD, dan aparat penegak hukum segera turun tangan mengaudit penggunaan dana dan memeriksa indikasi KKN di ajang ini.
Jika terbukti, kasus ini dapat masuk kategori penyalahgunaan wewenang dan potensi tindak pidana korupsi.***