KORANINVESTIGASI|Di tengah geliat pasar pagi Lapangan Kantin setiap Minggu, satu aroma selalu menuntun langkah para penikmat kuliner lokal: wangi rempah Palai Rinuak yang dibakar dalam balutan daun pisang.
Aroma itulah yang menandai keberadaan Dapur Cikgu, sebuah gerai kecil yang menyajikan cita rasa besar — dan kisah yang tak kalah hangat di baliknya.
Palai Rinuak, makanan khas Minangkabau dari ikan danau kecil yang dibumbui rempah dan dibungkus daun pisang, bukan hanya sajian lezat.
Ia adalah bentuk cinta pada alam, tradisi, dan ketekunan dapur nenek moyang. Dan Dapur Cikgu membuktikan, hidangan sederhana ini bisa menjadi simbol keteguhan dan pendidikan — karena racikannya lahir dari tangan para guru.
BACA JUGA: Dari Kelas ke Dapur: Dapur Cikgu, Cerita Pensiunan Guru yang Rawat Rasa Minang ke Seluruh Nusantara
Palai Rinuak: Resep Sabar yang Dibakar Perlahan

BACA JUGA: Dapur Cikgu Comeback! Gulai Tambunsu dan Menu Khas Minang Siap Serbu Lapangan Kantin Bukittinggi!
Dimasak dengan teknik tradisional, Palai Rinuak ala Dapur Cikgu tidak hanya menggoda dari aromanya, tetapi juga dari detail bumbu yang menyatu dengan ikan rinuak hasil tangkapan segar dari Danau Maninjau.
Campuran bawang merah, bawang putih, kunyit, cabai, serta kelapa parut menjadikan rasa gurih dan pedasnya membekas di lidah.
Dibungkus dengan daun pisang muda, kemudian dibakar perlahan di atas bara, makanan ini menyerap dua hal: asap dari arang dan kesabaran dari tangan pembuatnya.
Hasilnya? Sajian yang mengembalikan kenangan pada dapur nenek, halaman rumah, dan suara gemeretak api yang menenangkan.
Dapur Cikgu: Dari Kelas ke Kompor, Mengajar Lewat Rasa
Di balik kelezatan Palai Rinuak ini, berdiri sosok-sosok yang akrab dengan dunia pendidikan: Pak Fei dan Ibu Netti Jannah, pasangan suami-istri guru yang menjadikan dapur sebagai ruang pengabdian baru setelah pensiun.
Nama “Dapur Cikgu” pun tak sekadar merek, melainkan refleksi identitas keluarga mereka sebagai pendidik.
Dapur Cikgu lahir dari keterbatasan, dijalankan lewat pesanan keliling, sempat diusir saat berdagang di jalan, hingga akhirnya memiliki tempat tetap di Tugu Bukit Barisan.
Kini, mereka hadir setiap Minggu, menyapa pelanggan setia yang datang bukan sekadar untuk membeli, tetapi juga untuk mengulang rasa yang menghangatkan memori masa kecil.
Rasa yang Jujur, Resep yang Konsisten
Dapur Cikgu punya prinsip sederhana: bumbu tak pernah absen, dan rasa tak boleh berubah. Kesetiaan pada resep tradisional menjadikan hidangan mereka bukan sekadar makanan, tetapi warisan rasa.
Palai Rinuak menjadi salah satu ikon, namun mereka juga menghadirkan berbagai hidangan khas lainnya — semua dibuat dari dapur rumahan dengan semangat yang luar biasa.
Bagi Ibu Netti, memasak adalah cara mengabdi, sebagaimana ia pernah mengajar. Dari kegiatan majelis taklim hingga usaha kuliner, peranannya sebagai penggerak komunitas tetap kuat.
Sementara Pak Fei, tetap setia mengantar pesanan dan mengelola logistik, memastikan roda kecil Dapur Cikgu terus berputar.
Dari Daun Pisang ke Hati Pelanggan
Dalam tiap gigitan Palai Rinuak Dapur Cikgu, tersimpan nilai: tentang kesederhanaan yang dirawat, tentang warisan yang tidak dilupakan, dan tentang keluarga yang tidak pernah berhenti mengajar — kini melalui rasa.
Mereka membuktikan bahwa menjaga budaya bisa dilakukan dari rumah, dari dapur, dari satu bungkus daun pisang yang hangat.
Di saat kuliner modern datang silih berganti, Dapur Cikgu bertahan dengan satu senjata: kejujuran rasa dan konsistensi niat.***