KORANINVESTIGASI|Di tengah sunyi perkebunan sawit yang membentang luas, sebuah cerita lama kembali mencuat.
Kali ini, bukan soal produksi atau ekspor, melainkan tentang seorang warga biasa yang dilaporkan mencuri sawit—ironisnya, di atas tanah yang ia klaim sebagai miliknya sendiri sejak 1985.
Warga berinisial A kini harus menghadapi tekanan hukum setelah PT. Indogreen Jaya Abadi (IGJA) melaporkannya atas dugaan pencurian.
Padahal menurut pengakuannya, tanah tersebut adalah warisan keluarga, lengkap dengan surat segel tahun 1985, ditandatangani pejabat lokal jauh sebelum perusahaan masuk.
“Segel tanahnya masih kami simpan, karena memang belum pernah diganti rugi. Ini bukan pencurian, ini lahan kami,” jelas A dengan suara yang tenang, namun sarat luka.
Masalah Lama yang Tak Kunjung Usai

Ini bukan kali pertama PT IGJA bersitegang dengan warga. Sengketa demi sengketa terus berulang, seperti lagu lama yang diputar kembali, hanya dengan nama korban yang berganti.
Dari luar, mungkin ini terlihat sebagai urusan administratif. Tapi di baliknya, ini soal keberlangsungan hidup, soal dapur yang harus tetap mengepul, dan sekolah anak-anak yang harus dibayar.
Ketika Mediasi Tak Lagi Jadi Pilihan
Yang membuat publik geleng kepala, adalah pilihan pendekatan. Bukannya duduk bersama mencari solusi, perusahaan justru memilih jalur hukum—melaporkan warga yang merasa haknya dirampas.
Apakah ini bentuk keadilan? Atau justru bentuk pengabaian terhadap hak dasar warga negara?
Tokoh masyarakat menyuarakan hal yang sama:
“Ini bukan cuma masalah hukum. Ini soal rasa keadilan. Perusahaan seharusnya peka, bukan sewenang-wenang.”
Saatnya Pemerintah Pusat Turun Tangan
Pemerintah daerah tentu punya peran, tapi dalam konflik seperti ini—yang menyangkut perusahaan besar dan masyarakat adat/tempatan—pemerintah pusat harus hadir secara nyata.
Jangan sampai kasus seperti ini dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi yang berpihak pada rakyat.
Menteri ATR/BPN, Menteri Pertanian, hingga Komnas HAM seharusnya menjadikan kasus ini sebagai alarm penting: bahwa konflik agraria di daerah tak bisa lagi dianggap kasus kecil atau insiden lokal semata.
Jangan Rakyat Kecil Selalu Jadi Tumbal
Di balik batang-batang sawit yang mengilap dalam laporan korporasi, ada suara-suara lirih yang selama ini sering tak terdengar.
Mereka bukan anti-investasi. Tapi mereka juga manusia. Yang punya hak atas tanah, atas kehidupan yang layak, atas ruang untuk menyambung harapan.
“Kami tak butuh belas kasihan. Kami hanya ingin keadilan. Dan semestinya negara berpihak.”
Harapan Jangan Ditinggal Diam
Konflik ini adalah cermin betapa masih jauhnya jarak antara kebijakan dan kenyataan di lapangan.
Di saat negara bicara keadilan sosial, di pelosok Riau ada warga yang dilaporkan mencuri di tanahnya sendiri.
Apakah kita masih bisa menyebut ini negara hukum, jika hukum hanya kuat ke atas dan tumpul ke bawah?
Kini, bola ada di tangan pemerintah pusat. Apakah akan bersuara? Atau membiarkan rakyat kecil berjuang sendirian seperti biasa?***